Playboy Indonesia menurut Naek L Tobing

Remaja dan Anak-anak Pasti "Kejar" Playboy

Jakarta, 17 Januari 2006 10:14
Seksolog Naek L Tobing khawatir, remaja dan anak-anak akan mencari atau mengejar-ngejar majalah Playboy Indonesia. Apalagi hukum di sini belum kuat untuk melindungi mereka hal-hal berbau porno. Karena itu Naek minta penerbit tidak memaksakan diri menerbitkannya.

"Hukum di Indonesia belum kuat untuk melakukan pemilahan distribusi media berbau porno sehingga para remaja dan anak di bawah umur bisa membelinya secara bebas," kata Naek L Tobing, di Jakarta, Selasa, menjawab pertanyaan Antara tentang rencana peluncuran Playboy Indonesia.

Menurut Naek, di AS majalah Playboy diperuntukkan bagi orang dewasa. Majalah itu dibungkus rapat dengan plastik, dan dijual di toko-toko buku yang benar-benar menaati aturan yang ada, yakni hanya menjualnya kepada orang dewasa.

"Mereka (toko buku) tidak berani melanggar aturan itu, karena hukumannya cukup berat. Kalau di Indonesia, saya pesimis ketegasan hukum itu bisa dilakukan, selama hukumnya belum jelas, maka lebih baik tak usah ada," kata psikiater yang sering mengasuh rubrik konsultasi seksologi di media-media massa itu.

Naek menilai, kesadaran anak-anak untuk tidak membeli dan membaca media orang dewasa di Indonesia masih harus dipertanyakan.

"Kalau memang hukum yang ada berjalan baik dan bisa memproteksi remaja dan anak-anak, orangtua pun ada yang membutuhkanya," kata Naek L Tobing.

Namun ia pesimis hal itu akan bisa dilakukan pada saat seperti ini. Bahkan dari kacamata seksologi, menurut Naek, unsur pendidikan seksnya kecil sekali.

Dari sudut orang dewasa dan seksologi tidak ada masalah. Namun harus mempertimbangkan aspek lainnya di Indonesia, seperti sudut agama, adat istiadat serta norma-norma yang ada di masyarakat.

"Media tersebut tidak termasuk bagian dari bahan-bahan untuk sex education, meskipun untuk orang dewasa ada yang membutuhkannya," tambahnya.

Seksolog yang sudah menulis puluhan judul buku tentang pendidikan seks tersebut menyebutkan, terhadap remaja di Indonesia perlu dilakukan pembatasan. Selain di Indonesia, di negara-negara lainnya di belahan dunia saat ini dihadapkan dengan perubahan perilaku seks yang cukup berat.

Ia menyebutkan, di Eropa dan Amerika Serikat segala sesuatu didasarkan dari hasil penelitian di lapangan. Apabila hasil penelitian tersebut dampaknya positif, baru diperkenalkan kepada publik.

Karena perencanaan sebuah program dan inovasi baru tersebut dipersiapkan secara terarah maka dampaknya akan positif dan penerimaan masyarakat akan positif pula.

Menurut Naek, apa pun yang mereka luncurkan, tidak akan berdampak apa-apa dan lebih mudah ditata karena sudah berdasarkan penelitian yang kuat yang benar-benar disesuaikan dari sudut sosial dan hukumnya kuat.

"Kalau di Indonesia, hukumnya tidak kuat, aspek sosialnya juga sangat plural. Lebih baik penerbit majalah itu tidak usah memaksakan diri ," kata Naek L Tobing.

Ia juga mengaku cukup prihatin dengan beredar luasnya media cetak dan internet yang berbau porno di masyarakat tanpa ada upaya pembatasan usia pembelinya.

Siapa pun bisa membeli dengan mudah tanpa ada upaya menghindarkan dari para remaja dan anak-anak yang dari segi usia belum cocok membaca atau melihatnya.

"Berdasarkan penelitian yang dilakukan, rata-rata anak usia SMP kelas I sudah pernah menonton film porno. Hal itu sangat memprihatinkan bagi perilaku remaja kita," kata Naek.

Sayangnya saat ini belum ada penelitian yang dilakukan di Indonesia yang mempelajari perilaku seksualitas remaja.

"Satu waktu kedepan akan ada penelitian ke arah sana. Harus ada metode penelitian yang baik sehingga hasilnya valid," tambahnya. [TMA, Ant]

http://www.gatra.com/2006-01-17/artikel.php?id=91531

Tidak ada komentar: